perempuan bermata rembulan (bagian 2)
2:45:00 PM
Petir sudah mulai terdengar dilangit gelap dibulan Ramadhan
tahun ini. Hari membawa makanan dan berniat untuk bersahur dirumahku bersama
adik-adikku dirumahku yang sederhana, karena ibuku sedang keluar kota dan
ayahku seperti biasa, entah berada dimana dan bersama wanita mana lagi malam
ini. Seperti bulan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, didaerahku selalu ramai
dari sehabis berbuka hingga subuh menjelang. Pintu rumah kubuka lebar-lebar
sambil menyiapkan makan sahur.
Tiba-tiba kudengar suara orang ramai didepan rumahku
berteriak-teriak sambil menyebut-nyebut Pelacur!. Dengan segera aku menuju
keluar dan berusaha memahami apa yang terjadi.
“Keluar lo p*rek!! Bulan puasa malah bikin maksiat lo!!”.
Mendidih darah dikepalaku mendengar kata-kata tersebut keluar dari salah satu
mulut orang-orang itu yang ternyata ditujukan kepadaku. Sudah begitu banyak
beban yang ditanggung ibu tiriku. Meskipun masa kecilku jauh dari kata bahagia,
tapi aku masih bersyukur diberi kehidupan melalui tangan ibu tiriku. Lama
kelamaan pun Ia menyayangiku selayaknya anak kandungnya. Aku paham sekarang
mengapa Ia dulu sering sekali melampiaskan kemarahannya padaku.
Bagaimana tidak, ayahku sudah membawa berapa anak dari hasil
hubungan gelapnya untuk diurus oleh ibu tiriku, termasuk aku. Sahabatku
sendiri baru mengetahui siapa aku sebenar-benarnya setelah sekian lama kita
bersahabat. Aku bukanlah anak kandung ibu atau ayahku yang merawatku sekarang
ini. Bahkan sahabat-sahabatku hanya tahu kalau aku adalah anak kandung ayahku
dari wanita lain selain istri sahnya yaitu ibu tiriku. Tapi, kenyataannya aku
bukanlah anak kandung ayahku pula. Aku dititipkan ke ayahku oleh seorang wanita
yang hamil entah oleh laki-laki mana. Namun mereka tetap menerimaku apa adanya dan menyayangiku selayaknya aku saudara sekandung para sahabatku.
Aku sudah bertemu dengan ibu kandungku, yang ternyata tidak
jauh lebih baik dari ibu tiriku. Harus kukatakan, ibuku hanya satu, ibu tiriku.
Tidak ada perasaan dendam dalam diriku dengan apa yang telah ia perbuat padaku
dimasa dulu. Sudah mau membiarkanku hidup saja aku sudah bersyukur padanya.
“Apa maksud kalian semua?!? Apa kalian nggak lihat pintu
rumah kubuka lebar-lebar dan nasi didalam untuk sahur masih mengepul??? Juga
ada adik-adikku dan kami semua sedang bersiap makan sahur??”. Setengah
berteriak aku menjawab tuduhan-tuduhan orang-orang gila yang selalu usil pada
keluargaku. Dari kecil mereka selalu menggodaku dengan mengatakan bahwa ibu
yang saat ini mengurusku adalah bukan ibuku. Seandainya mereka tahu apa yang
ada didalam hati dan pikiran seorang anak tk saat itu mendengar kata-kata
seperti itu. Bagaimana aku harus mencerna apa yang terjadi dalam hidupku. Siapa
ibuku? Siapa ayahku?. Tak bisakah mereka membiarkanku hidup normal seperti
anak-anak mereka? Akupun tidak memilih untuk dilahirkan seperti ini… Aku hanya
ingin hidup… Tenang… Damai… Seperti selayaknya anak kecil.
“Alaaaahhhh… Nggak usah bohong lo!! Lo abis mesum kan
tadiii???”. Sakit sekali hatiku mendengarnya. Aku tahu, aku memang bukan
perempuan suci dan alim, tapi aku masih punya akal sehat untuk tidak menodai
bulan Ramadhan ini dengan melakukan hal-hal yang mereka tuduhkan. Bahkan disaat
waktu sahur sekalipun. Aku pikir, hal seperti ini hanya terjadi di sinetron
saja, tetapi potongan sinetron itu terjadi lagi dihidupku.
Orang-orang kampung yang tanpa memahami penjelasanku dan
kenyataan yang ada, entah ada provokator dari mana memperpanjang tuduhan
mereka. Ya Tuhan, Kau berikan aku ujian apalagi kali ini. Hingga keesokan
harinya ayah dan ibuku sudah kembali kerumah. Entah bagaimana, sampai akhirnya
mereka memaksaku untuk menikah dengan Hari. Ya, menikah!. Diusiaku yang masih
belasan aku dipaksa menikah hanya karena tuduhan dan fitnah orang-orang
kampung. Jika aku tidak menikah dengan hari, aku harus diusir dari tempat
tinggalku.
Hari pun setuju untuk menikahiku, tapi secara Siri. Apa yang
Engkau rencanakan pada hidupku Tuhan? Sampai aku harus menyerahkan hidupku pada
seorang laki-laki dengan cara seperti ini… Pernikahan siriku dihadiri oleh
salah satu warga yang memaksaku untuk menikah. Aku resmi menjadi istri Siri
Hari. Laki-laki yang juga kebetulan berlatar belakang ekonomi yang cukup mapan.
Sejak itu aku menjadi tulang punggung keluargaku.
Hari, laki-laki yang menikahiku secara Siri tanpa diketahui
oleh keluarga besarnya bahkan ayah ibunya. Terlalu rumit aku jelaskan mengapa
Ia tidak ingin memberitahu keluarganya mengenai pernikahan kami. Aku hidup
dibawah bayang-bayang dirinya. Satu sisi hatiku berterima kasih akan
kebaikannya pada keluargaku. Namun sisi hatiku yang lain ingin sekali membakar
belenggu yang Ia buat kepadaku. Aku bagai tergadai. Hari yang semasa pacaran
dulu pun bukan tak sering berlaku kasar padaku. Tidak jarang, gelas kaca
mendarat dikepalaku. Dan hal semacam itu semakin menjadi setelah kami menikah.
Memang belum selesai ujian yang Tuhan berikan padaku
sepertinya. Entahlah… mau tidak mau harus aku ikuti. Aku belum siap mati.
Seperti yang kurasakan saat Hari memaksaku menggugurkan kandunganku karena
status pernikahan Siri kami yang keluarga besarnya belum mengetahui.
“Hari, aku ikhlas mengandung anak ini dan merawatnya
sendiri. Kamu hanya cukup menafkahiku saja, aku tak akan menuntutmu untuk
memperkenalkan anak kita saat ini kekeluarga besarmu.” Aku berusaha untuk
mempertahankan janin dalam kandunganku yang padahal kami dapatkan didalam
pernikahan, bukan diluar.
“Nggak bisa Nit, aku belum siap memiliki anak.” Hari tetap
bergeming mendengar permohonanku. Hingga dihari berikutnya Hari membohongiku
dengan menyuruhku meminum obat yang dia sebut sebagai vitamin. Nyatanya obat
tersebut seperti malaikat pencabut nyawa. Aku hampir meregang nyawa karena
aborsi yang dilakukan oleh suamiku sendiri. Hancur rasanya jiwa dan ragaku
karena makhluk mungil yang tidak berdosa didalam perutku yang detak jantungnya
seirama dengan detak jantungku harus pergi karena tidak diinginkan oleh ayahnya
sendiri. Kenapa Tuhan…?
Bersambung...
Bersambung...
0 comments
Really love to hear what you think! ;)